Pendahuluan
Pada materi ini kita akan mempelajari bagian dari
zaman batu yaitu Kebudayaan zaman mesolitikum. Tahukah kamu apa
yang dimaksud dengan zaman mesolitikum? Ya, tentu kamu dapat menjawabnya, bahwa
zaman mesolitikum merupakan zaman batu tengah atau madya yaitu suatu masa
dimana terdapat perkembangan pada alat-alat batu seperti pada masa
paleolitikum. Kebudayaan Mesolitikum ini sudah lebih maju apabila dibandingkan
hasil kebudayaan zaman Paleolitikum (batu tua) terjadi sekitar 10.000 tahun S.M
pada masa kala Holosen, setelah masa paleolitikum berakhir. Apakah kamu dapat
membandingkan antara perkembangan kebudayaan batu tengah dengan kebudayaan
batu tua? Ya, tepat jawabanmu, bahwa perkembangan kebudayaan batu tengah
terjadi lebih cepat dibandingakan zaman batu tua. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain :
a. Kebudayaan ini didukung oleh manusia purba
jenis Homo Sapiens atau manusia cerdas.
b. Pada masa kala Holosen sekitar
20.000 tahun yang lalu, kondisi sudah stabil.
Pada zaman ini mulai muncul spesies Homo Sapiens.
Adanya perkembangan global banyak mempengaruhi perkembangan fisik alam
Indonesia. Ketika lapisan es kutub utara belum mencair, wilayah Indonesia
bagian barat masih menyatu dengan Benua Asia, wilayah Indonesia bagian timur
masih menyatu dengan Benua Australia. Pada waktu suhu bumi memanas dan lapisan
es kutub utara mencair, terbentuklah lautan di berbagai wilayah ndonesia
dan memunculkan banyak pulau. Wilayah yang dahulu menyatu dengan Asia dan
sekarang menjadi dasar lautan disebut Paparan Sunda, sedangkan
wilayah yang pernah menghubungkan sebagian wilayah Indonesia dengan Australia
disebut Paparan Sahul.
Gambar :
Kala Holosen
Meskipun demikian, pada jaman batu tengah
masih menggunakan alat-alat dari jaman batu tua, tetapi sudah mendapat pengaruh
dari Asia daratan, sehingga muncul corak tersendiri. Bahkan, alat-alat tulang
dan flake dari jaman batu tua masih memegang peranan penting
pada jaman batu tengah. Selain itu pada jaman batu tengah, manusia purba
juga sudah mampu membuat gerabah dari tanah liat yang dibakar.
Apakah kamu mengetahui bagaimana kehidupan manusia
pada masa mesolitikum? Ya, tentu kamu mengetahuinya bahwa pada masa itu
manusia purba mulai hidup berburu dan mengumpulkan makanan (food ghatering)
yang terdapat di alam dengan alat dan teknologi yang lebih baik dari zaman
paleolitik. Di Indonesia sendiri mulai timbul usaha-usaha untuk bertempat
tinggal di gua-gua alam walaupun belum sepenuhnya menetap, karena hidupnya
masih sangat bergantung pada alam. Tidak menutup kemungkinan jika manusia pada
zaman ini sudah bercocok tanam secara sederhana. Pada zaman ini juga mulai
tampak kegiatan-kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang belum pernah dicapai pada
masa-masa sebelumnya yaitu seperti untuk pertama kalinya pada masa ini manusia
purba menemukan api. Penemuan api ini tidak terlepas dari perkembangan otak
mereka sebagai akibat dari tuntutan menyesuaikan diri dengan perkembangan alam
dan lingkungan yaitu api berperan penting dalam kehidupan gua seperti
menghangatkan tubuh, menghalau binatang buas di malam hari serta memasak
makanan.
Perlu kita ketahui bahwa zaman mesolitikum merupakan
zaman dimana berburu menjadi tidak begitu dominan lagi, sedangkan mengumpulkan
tumbuh-tumbuhan dan hasil laut menjadi semakin penting.
Perkembangan-perkembangan ini menandai berakhirnya zaman paleolitikum dan
mulainya zaman mesolitikum.
Kebudayaan batu tengah memiliki corak istimewa, antara
lain sebagai berikut :
a. Terdapat sampah-sampah dapur (Kjokkenmodinger)
yang ditemukan disepanjang pesisir pantai, terutama di pantai timur Sumatera.
b. Gua-gua sebagai tempat tinggal (Abris sous roche),
seperti yang ditemukan di Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur.
1.
Hasil-Hasil
Kebudayaan Kjokkenmoddinger
Pernahkah
kamu mendengar istilah Kjokkenmoddinger
? Tepat sekali jawabanmu, Kjokkenmoddinger
berasal dari bahasa Denmark yaitu “kjokke”
yang berarti dapur dan “moddin”
yang berarti sampah, sehingga kjokkenmoddinger
dapat diartikan sebagai sampah dapur. Keberadaan kjokkenmoddinger membuktikan
bahwa manusia purba zaman mesolitikum telah bertempat tinggal di tepi
pantai. Sampah dapur ini menjadi corak kebudayaan yang istimewa dari
zaman mesolitikum.
Manusia
yang tinggal di tepi pantai ini mengandalkan hasil laut sebagai sumber
kehidupan, terutama kerang dan siput. Seperti yang dikemukakan oleh Soekmono
bahwa “kulit-kulit siput dan kerang yang dibuang itu selama waktu yang
bertahun-tahun, akhirnya menjelmakan bukit kerang yang beberapa meter tinggi
dan lebarnya itu. Bukit-bukit inilah yang dinamakan " kjokkenmoddinger”.
Kjokkenmoddinger banyak ditemukan di sepanjang
pantai Sumatra Utara antara Langsa di antara Medan dan Aceh. Bukti
itu menunjukan adanya manusia yang tinggal dalam rumah-rumah bertonggak di
sepanjang pantai. Kehidupan manusia pasa masa Kebudayaan Kjokkenmoddinger
berada pada taraf berburu dan mengumpulkan makanan perairan laut atau food gathering. Kjokkenmoddinger diteliti
oleh Dr. P.V. Van Stein Callenfels tahun 1925. Ia melakukan sebuah penelitian
terhadap sampah dapur yang terdiri dari kulit kerang dan siput setinggi 7
meter.
Sampah dapur dengan ketinggian
seperti itu, tentu mengalami proses yang cukup lama pembentukannya dan mungkin
mencapai ratusan bahkan ribuan tahun. Pada kjokkenmoddinger ditemukan tulang
benulang beserta pecahan tengkorak dan gigi. Walaupun keterangannya tidak
lengkap, tetapi para ahli menafsirkan bahwa manusia yang hidup pada zaman
mesolithikum termasuk golongan bangsa papua melanesoide (nenek moyang bangsa
Irian dan melanesoid sekarang). Dari hasil pengamatan kebudayaan kjokenmodinger itu
dapat disimpulkan bahwasan
kehidupan manusia waktu itu
pada taraf berburu dan mengumpulkan makanan perairan laut atau food gathering.
Dengan demikian zaman mesolitikum lebih maju dibanding dengan zaman
paleolitikum.
Di atas bukit kjokkenmoddinger
ditemukan beberapa hasil budaya yaitu:
a. Pebble (Kapak Sumatra)
Tahukah kamu mengapa dinamakan
dengan kapak Sumatra? Ya, tepat sekali jawabanmu, karena sesuai dengan lokasi
penemuan kapak tersebut. Pada tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein
Callenfels melakukan
penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam
yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum). Pabble merupakan
nama yang diberikan pada kapak genggam yang ditemukan di Sumatera, tetapi
bentuknya berbeda dengan kapak genggam dari Jawa atau chopper.
Selain itu. Kapak genggam yang berbeda dari chopper pada zaman paleolitikum. Kapak
genggam zaman mesolitikum antara lain disebut pebble dan kapak Sumatra. Kapak ini
dibuat dari batu kali yang dipecah. Sisi luarnya tidak diapa-apakan atau
dibiarkan, sedangkan sisi dalamnya dikerjakan lebih halus, sesuai dengan
keperluannya. Para ahli menganggap bahwa kapak genggam Sumatra ini mengikuti
tradisi pembuatan kapak genggam di daratan Asia.
2. Kapak pendek (hache courte).
Kapak pendek berbentuk setengah
lingkaran. Cara pembuatannya seperti pembuatan kapak genggam yaitu dengan
memecah, memukul batu tetapi tidak diasah. Sisi tajamnya berada pada sisi yang
lengkung. Selain itu ditemukan pula benda yang disebut pipisan (batu penggiling
beserta landasannya). Pipisan tidak hanya digunakan untuk menggiling makanan,
namun juga untuk menghaluskan bahan pembuat cat merah. Cat merah ini mungkin
digunakan untuk melukis manusia purba di dinding gua tempat ia tinggal atau
mungkin sebagai sarana spritual.
1. Hasil-Hasil Kebudayaan Abris Sous Roche
Apa yang kamu pikirkan dengan
istilah Abris Sous
Roche? Tentunya ini merupakan istilah asing yang bermakna penting
dalam proses perkembangan kehidupan manusia purba. Kebudayaan Abris Sous Rocheyaitu
menjadikan gua sebagai tempat tinggal pada zaman mesolitikum. Gua-gua ini
dipilih dengan mempertimbangkan letak jauh dekatnya dari sumber air, dapat
melindungi diri dari hewan-hewan buas serta ketersediaan makanan. Penyelidikan
pertama Abris Sous
Roche dilakukan oleh van Stein Callenfels di Gua Lawa Sampung
(Ponorogo, Madiun) dari tahun 1928-1931. Alat-alat yang ditemukan di situs ini
antara lain: ujung panah, flakes, dan batu penggilingan. Bagian terbesar dari
alat yang ditemukan itu merupakan alat dari tulang, sehingga muncul istilah Sampung bone-culture.
Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris
Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang
di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan
pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti
Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada
dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah.
Untuk itu kebudayaan Abris
Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala
tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000
sampai 1000 SM. Nah penemuan ini terus berlanjut selain di Jawa Timur dan
Sulawesi Selatan, Abris
Sous Roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian
terhadap goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan
flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari batu indah. Dapatkah kamu
sebutkan alat-alat yang ditemukan pada kebudayaan abris sous roche? Ya,
tentunya kamu pernah mendengarnya, alat-alat tersebut antara lain :
a. Serpih Bilah.
Salah satu alat khas zaman ini
adalah alat mikrolit yang berbentuk geometris .Batu yang dipakai untuk membuat
alat ini antara lain: kalsedon, andesit, dan batu gamping. Tradisi serpih bilah
terutama berlangsung dalam kehidupan digua Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara
Timur.
Teknik pembuatan alat serpi bilah hampir sama dengan pembuatan alat-alat serpih pada masa sebelumnya, dengan bermacam-macam corak. Pembuatan alat-alat serpih bilah ini agaknya kurang berkembang di Jawa, tetapi berkembang pesat di Sulawesi Selatan dan di Nusa Tenggara.
Teknik pembuatan alat serpi bilah hampir sama dengan pembuatan alat-alat serpih pada masa sebelumnya, dengan bermacam-macam corak. Pembuatan alat-alat serpih bilah ini agaknya kurang berkembang di Jawa, tetapi berkembang pesat di Sulawesi Selatan dan di Nusa Tenggara.
b. Alat Tulang
Pernahkah kamu melihat alat
dari tulang disekitarmu? Tentu pernah, temuan alat tulang yang paling terkenal
di Jawa adalah Goa Lawa, dekat Sampung. Di lapisan bawah gua ini banyak
ditemukan alat-alat dari tulang. Alat-alat tersebut antara lain lancipan,
belatik dari tanduk, sundip tulang, dan beberapa mata kail. Disini juga
ditemukan atu pipisan yang halus pada bagian permukaanya dimungkinkan
karena akibat pemakaian yang terus menerus. Situs Gua lawa digali oleh
Stein Callenfels pada tahuan 1931 dengan menemukan lapisan berisi sudip
dan lancipan dari tulang dan tanduk rusa dan diperkirakan berada pada masa
Holosen pertengahan. Pembuatan alat dengan menggunakan bahan tulang pada masa
berburu dan meramu tingkat awal ini masih sangat terbatas. Hal itu terlihat
dari temuan alat-alat yang hanya ada di satu tempat, yakni di Ngandong.
Alat-alat dari tulang ini biasanya digunakan untuk sudip atau mata tombak yang
berigi di kedua sisimya.
c. Lukisan di Gua
Pernahkah kalian mengunjungi
situs Gua pra aksara? Ya diantara kamu akan menjawab beragam. Selain membuat
alat kebutuhan sehari-hari mereka juga melukiskan sesuatu di dinding gua.
Pernah kamu melihatnya?
Lukisan ini di buat dengan cara menggores pada dinding-dindingnya atau juga menggunakan cat yang berwarna merah, hitam, atau putih. Lukisannya berupa cap tangan dengan cara merentangkan jari-jari tangan di permukaan atau di dinding-dinding gua atau dapat pula berupa gambaran suatu pengalaman, perjuangan dan harapan hidup. Sumber inspirasi lukisan ini adalah kehidupan sehari-hari mereka. Adanya lukisan di dinding-dinding gua berkaitan dengan sistem kepercayaan masyarakat pada masa itu. Kebiasaan ini merupakan bentuk kepercayaan awal manusia purba akan adanya kehidupan setelah mati yaitu berupa roh-roh orang yang telah meninggal, dan karena itu jasad dan roh-rohnya patut mendapatkan penghormatan atau pemujaan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Robert dan galis, Lukisan-lukisan gua bertalian dengan upacara penghormatan nenek moyang, upacara kesuburan, inisiasi, dan mungkin juga untuk keperluan ilmu dukun, untuk meminta hujan dan kesuburan, atau memperingati suatu kejadian yang penting.
Lukisan ini di buat dengan cara menggores pada dinding-dindingnya atau juga menggunakan cat yang berwarna merah, hitam, atau putih. Lukisannya berupa cap tangan dengan cara merentangkan jari-jari tangan di permukaan atau di dinding-dinding gua atau dapat pula berupa gambaran suatu pengalaman, perjuangan dan harapan hidup. Sumber inspirasi lukisan ini adalah kehidupan sehari-hari mereka. Adanya lukisan di dinding-dinding gua berkaitan dengan sistem kepercayaan masyarakat pada masa itu. Kebiasaan ini merupakan bentuk kepercayaan awal manusia purba akan adanya kehidupan setelah mati yaitu berupa roh-roh orang yang telah meninggal, dan karena itu jasad dan roh-rohnya patut mendapatkan penghormatan atau pemujaan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Robert dan galis, Lukisan-lukisan gua bertalian dengan upacara penghormatan nenek moyang, upacara kesuburan, inisiasi, dan mungkin juga untuk keperluan ilmu dukun, untuk meminta hujan dan kesuburan, atau memperingati suatu kejadian yang penting.
Pedoman bagi Guru
Bagi rekan guru, modul ini dapat digunakan untuk
menambah media pembelajaran sekaligus sumber belajar peserta didik. Modul juga
dilengkapi dengan latihan tes akhir. Di samping itu, modul dapat dijadikan
sebagai forum diskusi. Rekan guru dapat memberikan tugas pengamatan sehari-hari
di lingkungan sekolah atau rumah siswa, dan temuan mereka itu kemudian
didiskusikan. Terakhir, rekan guru dapat memberikan umpan balik melalui forum
yang ada pada akhir modul ini.
Panduan Bagi Siswa
Bagi siswa modul ini dapat Anda pelajari sebagai salah
satu sumber belajar. Sebelum mempelajari modul, Anda diminta untuk mengisi
kuis yang terdapat dalam setiap kegiatan belajar. Di akhir kegiatan juga
terdapat tes akhir modul untuk mengukur tingkat pemahaman Anda terhadap materi
yang telah dipelajari. Anda juga dapat memberikan komentar, dan saling bertukar
pikiran dengan teman-teman Anda di seluruh Indonesia. Selamat Belajar….Sumber
Klikdisini